Sejak beberapa tahun yang lalu, aku sempat memikirkan tentang pernikahan. Di umur yang saat itu sudah mau menginjak kepala dua, aku takut dengan sebuah konsep pernikahan. Sebenarnya, bukan takut pada konsep itu sendiri, tapi pada orang-orang yang mungkin akan terlibat dalam prosesnya. Tidak hanya pasangan, tapi juga keluarga dan orang-orang di sekitarku. Yup, alasannya sesimpel ribet dan tidak suka dikomenin orang lain! Tapi, semakin aku bertumbuh, ternyata banyak alasan lain yang aku temukan.
Teman-temanku kebanyakan ingin segera punya pacar, aku sendiri yang tidak. Teman-temanku punya pernikahan impian, aku tidak. Well, mungkin waktu kecil aku punya, karena aku sering menonton film-film dengan ending yang bahagia. Tapi, beranjak dewasa, gambaran pernikahan tidak begitu menakjubkan lagi bagiku. Gambaran pernikahan yang diberikan Disney mulai beralih pada film Wonder.
Sekitar setahun yang lalu, pemikiranku tentang hal ini semakin mengkhawatirkan. Mengkhawatirkan dalam segi apa? Dalam segi bertambahnya usiaku! Duh, ingin rasanya selamanya jadi sembilan belas tahun saja. Karena aku bisa memprediksi, sekitar setahun lagi saat aku lulus kuliah atau dua tahun lagi, orang-orang akan mempertanyakan kenapa aku tak kunjung punya pacar dan pertanyaan langganan akan mulai mampir: kapan nikah?
Saat itulah, musikal The Last Five Years dan buku Mengapa Pernikahan Memuakkan dan Mengapa Tidak Selalu Demikian karya kak Sophia Mega seakan menjadi temanku di kala bingung. Keduanya punya topik yang berbeda, tapi hal yang dibahas sama, yakni hiruk pikuk pernikahan. The Last Five Years bercerita tentang Jamie dan Cathy, dua sejoli yang menikah selama lima tahun, lalu bercerai. Musikal ini menceritakan kehidupan pernikahan mereka: Cathy dari akhir, Jamie dari awal. Sementara itu, buku kak Sophia Mega menceritakan tentang ke-galau-annya tentang pernikahan, sampai akhirnya ia menemukan seseorang yang tepat dan menikah. Namun, kehidupan pernikahan pun tak mudah.
Aku ingin bahas dulu dari segi buku Mengapa Pernikahan Memuakkan dan Mengapa Tidak Selalu Demikian. Sampai saat ini, aku selalu takut mengungkapkan kalau aku sebenarnya belum berpikir ingin menikah. Hanya beberapa orang yang kuberi tahu dan semuanya selalu menanyakan alasannya. Dalam masyarakat, selalu ada ekspektasi untuk memenuhi rancangan sosial yang sama. Lahir, sekolah, lalu menikah, dan berkeluarga. Jika salah satunya dilanggar, maka kamu akan dianggap keluar dari tatanan masyarakat. Tulisan kak Sophia Mega dalam bukunya benar-benar mengungkapkan isi hatiku: sebenarnya, kita semua punya pilihan. Pilihan untuk menikah, untuk tidak menikah, untuk punya anak, atau child free. Hanya saja, bahkan saat sudah menikah, kita selalu diekspektasikan untuk segera punya anak. Nyatanya, memangnya yang menikah sudah pasti bahagia? Apakah kalau tidak menikah dan tidak punya anak tidak bahagia? Tentu saja tidak.
Aku orang yang melihat gelas setengah penuh. I'm a positive thinker. Tapi, aku rasa aku orang yang sangat rasional. Tidak jarang kita melihat orang-orang yang terjebak dalam pernikahan, ataupun keluarga. Contohnya, dalam musikal The Last Five Years, Cathy merasa terjebak dalam pernikahan dengan Jamie yang lebih mementingkan kesuksesannya. Dari sudut pandang Jamie sendiri, dia melakukan semua itu agar Cathy dapat hidup nyaman. Sebenarnya, semuanya bisa diatasi dengan komunikasi dan mengalahkan ego diri sendiri. Tapi tentu saja, prakteknya tidak sesimpel itu. Realita pernikahan yang kurang mengenakkan pun seringkali disembunyikan. Contohnya, biaya punya anak yang mahal, pentingnya punya pasangan yang sepaham, dan lain sebagainya. Sebagai gantinya, yang sering dipromosikan adalah punya pacar harus yang ganteng atau cantik, kaya, keluarganya baik-baik, dan pendidikannya tinggi.
Waktu remaja, aku terkadang iri melihat teman-teman yang punya pacar, karena kelihatannya dunia pacaran begitu indah. Saat ini pun terkadang masih begitu, karena aku iri melihat Cathy yang punya pacar se-bookish Jamie dalam musikal. Dalam adegan The Schmuel Song, bahkan Jamie menulis cerita sebagai hadiah natal untuk Cathy. Duh, inginnya... LOL! Tapi, seperti donat, tidak selamanya donat itu tidak punya lubang. Fun fact, awalnya dulu donat tidak berlubang, lho! Tapi setelah kita zoom out, ternyata kehidupan pacaran dan pernikahan bisa punya lubang juga yang tak seindah kelihatannya. Lubang memang seringkali membuat kita semakin dewasa sebagai manusia. Karena itu, aku juga setuju dengan pandangan kak Sophia Mega, tujuan hidup kita adalah menjadi sebaik-baiknya manusia. Juga, sebaik-baiknya manusia dalam hal pernikahan (bila kamu memilih untuk menikah).
Terkadang, aku juga memikirkan, kalau aku punya anak nanti, apakah anakku akan bahagia aku lahirkan? Apakah anakku akan kecewa denganku? Kita semua pernah ingin mati saja, dan kita tidak pernah memilih untuk dilahirkan. Tanggung jawab orang tua begitu besar, dan mengasuh anak tidak semudah yang ditayangkan di sinetron. Aku sering merasa kesal karena para pembuat sinetron seakan menggambarkan bahwa punya anak semudah itu. Anaknya akan baik, pintar, pengertian, juga lucu. Nyatanya? HA! Karena itu, pemikiran panjang tentang pernikahan ini dimulai.
Seringkali, orang-orang juga bertanya: apakah kamu mau hidup sendirian sampai tua? Takut lho, nanti enggak ada yang ngurus. Masalahnya, apakah kita se-helpless itu sampai perlu anak untuk mengurus kita saat tua nanti? Sebenarnya, kita punya anak karena kita ingin meneruskan keturunan, bukan untuk mengurus kita saat tua nanti. Kalau begitu, apa bedanya anak dengan pengasuh? Hal ini juga dibahas kak Sophia Mega dalam bukunya. Sebelum memiliki anak, kita harus memiliki pola pikir yang benar dulu, supaya nantinya anak tidak menjadi piala orang tua, atau pengasuh di hari tua. Kebutuhan akan pasangan juga tidak begitu krusial bagiku. Sama seperti punya anak, aku rasa kita juga perlu mempertimbangkan alasan punya pasangan. Apakah hanya perlu teman mengobrol? Kenapa tidak cari sahabat saja? Apakah kamu perlu kasih sayang dari pasangan? Seperti yang sempat kupelajari di course The Arts and Science of Relationships dari University of Toronto, seringkali para pasangan bertengkar karena ada needs atau kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam hubungan. Karena itu, penting untuk mengenal kebutuhan kita sebelum memiliki pasangan dan mengomunikasikan segala sesuatunya.
Menurut Prof Tsang dalam kursusnya, ada pasangan-pasangan yang menginginkan pertumbuhan dalam hubungan mereka. Namun, ada juga yang menyukai ritme yang stagnan. Ada yang menginginkan satu partner saja seumur hidup, ada juga yang menyukai open relationship. Semuanya kembali pada pilihan masing-masing.
Pada akhirnya, menikah atau tidak menikah, adalah pilihan hidup kita sebagai manusia, yang harus ditimbang baik-baik dari berbagai sudut pandang. Harus dipikirkan, dibicarakan, dan didiskusikan, walau pada prakteknya tidak semulus itu. Oh iya, untuk musikal The Last Five Years, kamu masih bisa menontonnya sampai tanggal 9 Juli di Kiostix. Untuk buku kak Sophia Mega, kamu bisa beli melalui Lire Publisher di sini.
Happy reading and happy watching, bookworms!
Comments